KEBIJAKAN HUKUM DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DI INDONESIA
Oleh: Armawan, S.H., M.H.
A. PENDAHULUAN
Pengaturan sanksi pidana dalam peraturan perudang-undangan di bidang perpajakan menegaskan hukum pajak sebagai hukum public yang inisiatif penegakkannya langsung dari negara, karenanya meskipun pengitungan jumlah pajak dalam system perpajakan nasional Indonesia menggunakan metode self assesment system (Pasal 12 UU KUP), namun bukan berarti fiscus tidak melakukan pengawasan sama sekali terhadap kepatuhan pembayaran pajak wajib pajak, karenanya pengaturan saksi pidana dalam peraturan perudang-undangan di bidang perpajakan merupakan bagian integral dari politik hukum di bidang perpajakan sebagai upaya untuk menjaga kepatuhan pembayaran pajak wajib pajak.
Pengaturan saksi pidana dalam peraturan perudang-undangan di bidang perpajakan selain untuk menegaskan hukum pajak sebagai hukum publik, juga menegaskan posisi pajak yang vital sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pajak merupakan salah satu instrument kesejahteraan rakyat. Artinya pajak menjadi salah satu sumber pembiayaan negara. Sebagai contoh, belanja Negara pada APBN tahun 2021 sebesar Rp2750,0 T, yang berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1444,5 T (https://www.kemenkeu.go.id/alokasipajakmu diakses pada tanggal 21 September 2022, pukul 15.00 WITA). Lebih dari setengah APBN bersumber dari penerimaan pajak, dengan demikian pajak adalah salah satu instrument kebijakan fiscal yang sangat penting bagi pemerintah, sehingga memerlukan berbagai upaya dan pendekatan untuk menegakkan kepatuhan pembayaran pajak.
Pengaturan saksi pidana dalam peraturan perudang-undangan di bidang perpajakan dengan mengadopsi pendekatan “administrative penal law” merupakan salah satu pilihan yang sejalan dengan semangat perpajakan yang bertujuan untuk mengumpulkan pendapatan sebanyak mungkin untuk membiayai kebijakan pembangunan nasional, dengan demikian dalam konstruksi sistematis peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mengedepankan prinsip kemanfaatan dan penegakkan kepatuhan pembayaran kewajiban pajak. Paling mutakhir dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah memperkuat karakter administrative penal law dalam pengaturan rezim hukum tindak pidana di bidang perpajakan.
B. ADOPSI KONSEP ADMINISTRATIVE PENAL LAW
Secara umum dari segi karakter dan bentuk peraturan perundang-undangan pidana dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu undang-undang pidana kodifikasi (KUHP), undang-undang pidana diluar kodifikasi (UU TIPIKOR, UU TPPO, UU TPPU, UU TPKS), dan Undang-Undang administrasi bersanksi pidana (administrative penal law) yang merupakan uandang-undang administrasi yang memuat ketentuan sanksi pidana, misalnya undang-undang di bidang perpajakan, Imigrasi, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berbeda dengan undang-undang pidana kodifikasi dan undang-undang pidana diluar kodifikasi yang murni merupakan instrumen penegakkan hukum pidana, sebaliknya undang-undang administrasi bersanksi pidana merupakan sarana penegakkan hukum administrasi atau perwujudan dari kebijakan penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan atau melaksanakan norma yang ada dalam hukum administrasi.
Menurut Indriyanto Seno Adji, dalam konteks Hukum Pidana, istilah “administrative penal law” adalah semua produk hukum berupa perundang-undangan administrasi bersanksi pidana. Muladi (1995:42), mengemukakan bahwa pencantuman sanksi pidana dalam perundang-undangan administrasi adalah untuk memperkuat sanksi administrasi (administrative penal law). Meskipun demikian secara doktriner perkembangan undang-undang administrasi bersanksi pidana di Indonesia mengalami pergeseran dari semata-mata untuk menegakkan hukum administrasi menjadi suatu instrument penegakkan hukum pidana, hal tersebut ditandai dengan permusan sanksi pidana yang berat disertai komulasi denda yang juga sangat tinggi dalam berbagai perundang-undangan administrasi. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Barda Nawawi Arief (2003: 16), yang menyatakan apakah penggunaan hukum pidana dalam bidang administrasi di Indonesia masih dapat disebut sebagai atau identik dengan “administrative penal law” (ordeningstrafrecht), dan apakah delik yang diciptakan dapat diidentikkan atau sesuai dengan istilah yang dikenal dalam kepustakaan yaitu “administratief delikten” atau “regulatory offences”. Namun terlepas dari diskursus mengenai apakah ragam pidana yang diatur dalam hukum perundang-undangan administrasi masih sejalan dengan doktrin awalnya, tapi yang menjadi titik disini bahwa administrative penal law lebih mengedepankan pendekatan kepatuhan administratif daripada pendekatan sanksi pidana, sehingga dalam administrative penal law sanksi pidana lebih merupakan pilihan paling akhir, dan bukan sebagai suatu tujuan.
C. PARADIGMA TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
Untuk memahami paradigma tindak pidana di bidang perpajakan haruslah mencermati anatomi dan rancang bangun peraturan perundag-undangan di bidang perpajakan. Pertama, peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan secara umum berkarakter administrative penal law. Sehubungan dengan karakter administrative penal law serta misi peraturan peundang-undangan di bidang perpajakan yaitu untuk memaksimalkan perolehan penerimaan negara dari sektor pajak, karenanya undang-undang ini mengadopsi beberapa kekhususan yang membedakannya dari undang-undang administrasi bersanksi pidana pada umumnya yang akan pada kesimpulan mengenai paradigma tindak pidana di bidang perpajakan, di antranya, yaitu:
1. TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN MENGEDEPANKAN KEPENTINGAN PENERIMAAN NEGARA
Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menganut konsep “Pembetulan dan Pengungkapan Ketidakbenaran”, dengan pengaturan sebagai berikut:
a. PEMBETULAN
Pasal 8
(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
(2) … dst;
(6) Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan Tindakan pemeriksaan.
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) a quo memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang baik karena kealpaannya maupun karena secara sengaja (vide Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) huruf c, dan d UU HPP) untuk melakukan pembetulan surat pemberitahuan yang telah disampaikan sebelum Dirjen Pajak melakukan Tindakan pemeriksaan. Lebih lanjut Pasal 8 ayat (6) a quo, memberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk membetulkan Surat Pemerintahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal WP menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan Tindakan pemeriksaan.
b. PENGUNGKAPAN KETIDAKBENARAN
Selain Pembetulan sebagaimana tersebut ketentuan UU HPP juga mengadopsi konsep “pengungkapan ketidakbenaran”, yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3), sebagai berikut:
Pasal 8
(3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu sebagai berikut:
a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 ayat (3) a quo, diikuti ketentuan bahwa “Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Dalam tindak pidana ekonomi ketentuan ini disebut dengan damai, denda koreksi atau denda ganti, (schicking) pernah diatur dalam Pasal 29 Rechten Ordonnantie (Ordonansi Bea) (staatsblad 1882 No. 240), namun schikking tidak berlaku jika tindak pidana tersebut dianggap kejahatan. Ketentuan dalam Pasal 8 ayat (3) a quo, dapat langsung menghentikan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44A, yaitu: “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf k dalam hal: a. Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3);
Lebih lanjut meskipun Dirjen Pajak telah melalukan pemeriksaan, Wajib Pajak masih dapat “mengungkapkan ketidakbenaran”, dengan syarat Dirjen Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, namun proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
Pasal 8
(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 a quo, merupakan upaya fungsionalisasi mekanisme administratif guna mendorong ketaatan pembayaran pajak dengan memberi kesempatan wajib pajak untuk melakukan pembetulan dan pengungkapan ketidakbenaran, sehingga penerapan hukum pajak yang bertujuan memaksimalkan penerimaan pajak lebih optimal dan penerapan pidana menjadi opsi paling terkhir dalam penerapan tindak pidana di bidang perpajakan.
2. PENDEKATAN PENEGAKKAN HUKUM PAJAK DENGAN BANYAK PINTU (MULTIDOOR APROACH)
Seperti ungkapan yang mengatakan bahwa “hukum pidana tidak mendatangkan uang, sebaliknya hukum pidana mengeluarkan uang”. Ungkapan ini tidak salah karena pada dasarnya hukum pidana sebagai salah satu mekanisme untuk menciptakan ketertiban umum dirancang untuk memberi nestapa kepada para pelanggar hukum publik. Tujuan utamanya adalah menghasilkan ketertiban umum (public order). Dalam konteks ini resources negara yang bergerak, sehingga demi ketertiban publik tersebut negara justru terbebani dengan segala macam biaya yang harus dikeluarkan untuk semua proses penegakkan hukum public. Berbanding terbalik dengan itu, penegakkan hukum pajak menekankan pada upaya untuk memaksimalkan pendapat negara di sector pajak, sehingga ketentuan peraturan di bidang perpajakan dilengkapi fitur yang secara khusus dimaksudkan untuk memberi kemampuan pada system untuk tidak hanya memberi pemasukan pada negara tetapi juga memperoleh keuntungan finansial dari penegakkan hukum di bidang perpajakkan.
Beberapa kebijakan hukum yang diadopsi dalam peraturan di bidang perpajakan yang sejalan dengan upaya untuk memaksimalkan pendapat negara merliputi:
a. ADOPSI KONSEP FOLLOW THE MONEY DAN ASSET TRACING;
Konsep follow the money dan asset tracing didorong oleh upaya untuk memperoleh kembali kerugian negara yang hilang akibat tidak pidana. In casu dalam konteks hukum pajak merupakan kerugian pada pendapat negara di sektor pajak, yang seharusnya dapat disetorkan kepada negara dan menjadi instrument fiscal dalam merusmuskan kebijakan pembangunan nasional. Harapannya dengan penerapan konsep follow the money dan asset tracing maka penegakkan hukum di bidang perpajakan tidak hanya menghasilkan suatu putusan yang ilusoir tetapi dapat memberikan tambahan penerimaan melalui peneluran asset dan aliran dana pelaku kejahatan di bidang perpajakan.
Dengan berlakunya UU HPP Penyidik tindak pidana di bidang perpajakan diberikan kewenangan untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka dengan izin Ketua Pengadilan. Ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j UU HPP, yaitu “Melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan danf atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat”;
Ketentuan dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j sekaligus memperkuat wewenang penyidik tindak pidana di bidang perpajakan untuk melakukan tindakan dalam rangka follow the money dan asset tracing untuk memastikan pelunasan utang pajak atau pelaksanaan pidana denda dapat dilaksanakan secara efektif. Ketentuan ini lebih dipermudah lagi dengan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, yang menyatakan:
Pasal 35
(1) Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
(2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
Dengan demikian ketentuan dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j juncto Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, semakin meneguhkan dan memudahkan bagi Penyidik untuk melakukan penelusuran asset, dengan demikian dua ketentuan tersebut juga sekaligus memudahkan jaksa dalam pelaksanaan Putusan Pengadilan sebagaimana ketentuan dalam Pasal Pasal 44C UU HPP.
Untuk memperkuat upaya tersebut dirumuskan dalam Pasal 44C UU HPP sebagai berikut:
(1) …”;
(2) Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jaksa melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta kekayaan terpidana untuk membayar pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal setelah dilakukan penelusuran dan penyitaan harta kekayaan, terpidana orang tidak memiliki harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda, dapat dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana penjara yang diputus.
Berdasarkan ketentuan tersebut jaksa dapat melakukan penelusuran dan penyitaan asset guna memastikan pembayaraan pidana denda sesuai ketentun Pasal 44C UU HPP.
Dengan istrumen hukum yang diberikan tersebut baik Penyidik Pajak maupun Jaksa sebagai pelaksana Putusan Pengadilan tidak akan sulit untuk menemukan asset tersangka atau terpidana dalam kasus tindak pidana di bidang perpajakan.
a. PIDANA DENDA TIDAK DAPAT DIGANTIKAN DENGAN PIDANA KURUNGAN
Sejalan dengan upaya untuk memaksimalkan pendapatan negara di sector pajak UU HPP sebagaimana termuat dalam Pasal 44C ayat (1) disebutkan Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana.
Hamat penulis selain untuk memaksimalkan penerimaan negara di sektor pajak, rasio legis yang mendasari munculnya ketentuan ini adalah tidak dipisahkannya antara utang pajak dan denda ketidakpatuhan. Ketentuan pidana dalam UU HPP menggabungkan antara utang pajak yang seharusnya dibayarkan dengan denda karena ketidakpatuhan, karenanya pajak yang seharusnya dibayarkan sebagai utang pajak juga terakumulasi dalam pidana denda. Konsekuensinya adalah ketika pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) KUHP. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan dalam UU Tipikor, di mana pengganti kerugian negara dikonstruksi sebagai pidana tambahan yang terpisah dari pidana denda.
Di masa depan hemat penulis sebaiknya hal tersebut dibedakan, antara utang pajak yang seharusnya dibayarkan sebagai kewajiban wajib pajak dan denda sebagai hukuman atas tindak pidana. Pengaturan demikian ini lebih fair dan pada tahap trial pun bisa lebih mudah bagi hakim untuk menentukan besarnya denda yang sesuai dengan kesalahan terdakwa diluar kewajiban pajak yang memang wajib untuk dibayarkan.
Lebih lanjut meskipun pidana denda tidak dapat diganti dengan pidana kurungan, namun sesuai ketentuan Pasal 44C ayat (3) UU HPP disebutkan “Dalam hal setelah dilakukan penelusuran dan penyitaan harta kekayaan, terpidana orang tidak memiliki harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda, dapat dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana penjara yang diputus”. Ketentuan ini merupakan pintu terakhir bila ketentuan Pasal 44 ayat (2) huruf j juncto Pasal 44C UU HPP tidak menghasilkan apa-apa, namun ketentuan tersebut harus diterapkan dengan sangat hati-hati dan berdasarkan Putusan Pengadilan.
b. HAK MENDAHULUI PELUNASAN UTANG PAJAK
Ketentuan mengenai hak mendahului dalam pelunasan utang pajak sudah jamak diketahui, bahkan mendahului kedudukan kreditor separatis dalam konteks hukum jaminan. Ketentuan mengenai hak mendahului berlaku selama 5 (lima) tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, dengan ketentuan:
Pasal 21
(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
b. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
c. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
d. Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
(4) Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
(5) Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
a. Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
b. Dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa negara memiliki kedudukan yang istimewa untuk selalu didahulukan dalam pelunasan pajak yang meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. Hal ini sejalan dengan konsepsi hukum pajak sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang.
3. PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Dalam penegakkan tindak pidana di bidang perpajakan, juga dikenal istilah “pemeriksaan bukti permulaan (pemeriksaan buper)”, yang memiliki tujuan serta sama dengan penyelidikan dalam KUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal 43A UU HPP. Sebagai catatan proses pemeriksaan buper pada beberapa kesempatan juga menjadi isu dalam praktek praperadilan, namun sesuai dengan penjelasan Pasal 43A UU HPP ditegaskan bahwa pemeriksaan bukti permulaan memiliki tujuan serta sama dengan penyelidikan dalam KUHAP, demikian proses buper belum merupakan tindakan pro justitia, sehingga belum dapat dinilai oleh lembaga praperadilan.
4. PENGHENTIAN PENYIDIKAN
Ketentuan perpajakan secara garis besar mengenal 2 (dua) alasan penghentian penyidikan, yaitu pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (2) huruf k dan kedua, berdasarkan ketentuan Pasal 44B, sebagai berikut:
a. Penghentian penyidikan berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (2) huruf k UU HPP atau penghentian penyidikan dalam arti obyektif;
Pasal 44 ayat (2) huruf k UU HPP menyatakan Penyidik berwenang menghentikan penyidikan. Penyidik menghentikan penyidikan dalam hal:
1. Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3);
2. Tidak terdapat cukup bukti;
3. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
4. Demi hukum.
Dalam penjelasan huruf d disebutkana bahwa penghentian penyidikan demi hukum adalah alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia atau karena daluwarsa.
b. Penghentian penyidikan berdasarkan ketentuan Pasal 44B ayat (1) UU HPP atau penghentian penyidikan demi kepentingan penerimaan negara;
Pasal 44B ayat (1) UU HPP menyatakan “Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan”. Ketentuan tersebut dilakukan setelah wajib pajak atau tersangka melunasi:
1. Kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara;
2. Kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; atau
3. Jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
5. PELUNASAN DI PERSIDANGAN, TUNTUTAN TANPA DISERTAI PIDANA
Ketentuan mengenai pelunasan di persidangan diatur dalam Pasal 44 ayat (2a) menyatakan “Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi:
a. Kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud Pasal 44B ayat (2) huruf a atau huruf b; atau
b. Jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud Pasal 44B ayat (2) huruf c.
Ketentuan mengenai pelunasan di persidangan menjadi pertimbangan bagi Penuntut Umum untuk menuntut Terdakwa tanpa disertai penjatuhan pidana penjara. Pada tahap ini ketentuan sedikit membingungkan dan potensial multi tafsir, mengingat ketentuan dalam peraturan perpajakan tidak secara tegas mengatur apa yang dimaksud dengan “dituntut tanpa disertai pidana penjara”. Sementara disisi lain Mahkamah Agung melalui Surat Edara Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penerapan Beberapa Ketentuan Dalam Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, poin 4 menyebutkan “Pidana percobaan tidak dapat dijatuhkan kepada Terdakwa tindak pidana di bidang perpajakan”. Poin 4 SEMA 4/2021 seolah menegasikan prinsip administrative penal law dalam penegakan hukum di bidang tindak pidana perpajakan. Padahal Pasal 44B ayat (2a) menyebutkan “Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tersangka, atau terdakwa pada tahap penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)', atas pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa”. Artinya meskipun dengan itikad baik 99% pidana denda telah terbayarkan, tetapi tetap saja kekurangan bayar 1% tidak dapat membuat Terdakwa cukup dijatuhi pidana bersyarat (voorwaardelijk veroordeling) dan denda sejumlah kekuarangan sebesar 1%.
6. PERSIDANGAN IN ABSENTIA
Persidangan perkara tindak pidana di bidang perpajakan dapat dilakukan secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa) sebagaimana diatur dalam Pasal 44D ayat (1) UU HPP sebagai berikut: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara tindak pidana di bidang perpajakan tetap dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa. berdasarkan ketentuan a quo, proses peradilan tetap bisa berjalan meskipun tanpa kehadiran Terdakwa di persidangan. Ketentuan ini sekaligus memasukan tindak pidana di bidang perpajakan masuk dalam kelompok tindak pidana yang dapat disidangkan secara in absentia.
7. BERLAKU ASAS LEX SPECIALE SISTEMATIS
Seperti telah jamak diketahui sistem kontinental mengenal system kodifikasi undang-undang, namun selain undang-undang kodifikasi juga terdapat beberapa peraturan perundang-undang diluar kodifikasi. Untuk mengatasi potensi konflik norma hukum perihal materi yang sama dalam undang-undang kodifikasi dan undang-undang non kodifikasi, maka diperkenalkan asas hukum lex specialis derogate legi generali (de speciale regel verdringt de algemene). Dalam konteks ini undang-undang kodifikasi dianggap sebagai legi generali yang dapat dikesamping oleh undang-undang non kodifikasi sebagai lex specialis. Namun berbeda hal bila yang mengalami konflik norma adalah antar undang-undang non kodifikasi atau antar lex specialis. Maka menghadapi konflik norma antar undang-undang khusus dikembangkan suatu asas yang disebut lex speciale sistematis atau yang juga disebut logische specialiteit.
Terdapat tiga syarat dapat diterapkannya asas lex specialis sistematis, yaitu, pertama, undang-undang tersebut mengatur pidana materil sendiri. Kedua, undang-undang tersebut mengatur hukum formilnya sendiri. Ketiga, subjek hukum undang-undang tersebut bersifat khusus. Ketentuan undang-undang perpajakan memenuhi ketiga ketentuan tersebut, di mana undang di bidang perpajakan mempunyai hukum materil tersendiri, yaitu: UU PPh, UU PPN dan PPnBM, UU BPHTB, UU PBB dan UU Bea Meterai. Undang-undang di bidang perpajakan juga mempunyai hukum formil yang juga menyimpang dari ketentuan pada umumnya yang diatur dalam UU KUP/UU HPP, UU PPSP, UU Pengadilan Pajak. Terakhir undang-undang di bidang perpajakan mempunyai subyek yang khusus yaitu wajib pajak, orang yang bertugas memotong atau memungut pajak (vide Pasal 39 huruf i, Pasal 39A UU 28/2007), atau pihak-pihak yang dalam keadaan tertentu karena undang-undang berkaitan dengan penegakkan hukum pajak (vide Pasal 35 UU 28/2007). Berdasarkan uraian tersebut peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, memenuhi kualifikasi sebagai lex specialis yuruidikal atau lex specialis sistematis, namun terdapat pengecualian dalam 43A ayat (3) UU 28/2007 yang menyatakan “Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi”, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 43A ayat (3) UU 28/2007, maka berlaku ketentuan Pasal 14 UU 31/1999 yang subyeknya adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
8. PENUTUP
Kebijakan hukum dalam tindak pidana di bidang perpajakan dokonstruksi sebagai instrumen untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak guna memaksimalkan pendapatan negara di sektor pajak, karenanya rancang bangun peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan didesain dengan pendekatan hukum administrasi bersanksi pidana (administrative penal law) di mana hukum pidana difungsionalisasi sebagai sarana untuk menegakkan hukum administrasi in casu hukum perpajakan untuk memaksimalkan pendapatan negara di sektor pajak, sehingga konstruksi hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan itu sungguh-sungguh menjadi senjata pilihan terakhir (ultimum remedium) manakala wajib pajak justru menghindari prosedur dan kemudahan dalam pelunasan denda pajak.
Namun demikian pada beberapa hal ketentuan-ketentuan tindak pidana di bidang perpajakan juga harus dilakukan perbaikan-perbaikan, pertama, perihal denda yang menggabungkan antara utang pajak dan denda pajak, mestinya ketentuan tersebut diperbaiki sehingga utang pajak dikontruksi sebagai uang pengganti kerugian pendapatan negara yang bersifat tetap dan denda sebagai hukuman akibat kesalahan yang sepenuhnya menjadi wilayah penegakkan hukum dalam hal ini hakim sebagai penentu politik keadilan (politic of justice). Kedua, perihal larangan penjatuhan pidana bersyarat, perlu dilakukan telaah dan kajian mendalam karena apabila dihubungkan dengan pelunasan penuh atau sebagian di persidangan, hal tersebut bisa menjadi dilema dalam dirkursus tentang keadilan yang sepatutnya diperoleh Terdakwa berdasarkan itikad baiknya selama menjalani proses hukum.